Pengunjung

Jumat, 23 Mei 2008

BLOG FOTO KEKERASAN PEMILU 1982, JAKARTA

Ekspresi Blogger Indonesia
Ekspresi Blogger Indonesia


PROLOOG dari Ki Dalang Wayang Kulit


Roh kejahatan dan kekerasan yang dilambangkan dengan gelembung-gelembung yang keluar dari telinga Prabu Rahwana ketika mati dibunuh Prabu Sri Rama, makin menyebar terus menerus keluar dari negeri Alengkadiraja. Melintasi batas-batas samudra dan batas waktu akhirnya sampai juga di kepulauan Nusantara. Kekerasan demi kekerasan muncul baik secara tersembunyi maupun secara terbuka di negeri, tempat Sumpah Palapa dikumandangkan. Kelompok yang memiliki kekuatan kekuasaan, kekuatan finansial, kekuatan teknologi dan kekuatan senjata menindas kelompok yang hanya memiliki kekuatan harapan dan moral dan setumpuk kerentanan. Menindas kejam secara lemah lembut kelompok yang bodoh dan miskin informasi. Kendati manusia-manusia tirani telah sirna dari muka bumi seperti halnya Rahwana, namun roh dan semangat ketamakan dan angkara murka masih terus turun temurun dari generasi ke generasi. Roh Rahwana dengan segala daya dan upaya memutasi dirinya kedalam bentuk yang lebih lembut dan lebih menawan, namun lebih berbisa kejam gigitannya dan lebih ganas dari mahluk yang paling keji penghuni neraka yang pernah muncul di bumi ini. ....demikianlah kira-kira terjemahan tembang yang dilantunkan sang dalang wayang kulit dalam acara hajatan perkawinan di jaman penjajahan Belanda dulu.

Kampanye Pemilu Legislatif 1982.
Saya bekerja sebagai wartawan foto di sebuah majalah peternakan unggas POULTRY INDONESIA waktu itu, juga pada majalah BURSA EFEK. Selain itu saya banyak menggali informasi berkaitan dengan industri peternakan di JAWA dan BALI.
Momentum kampanye di era rezim Orde Baru adalah ladang pengambilan foto-foto yang bisa bersifat dokumenter dan bahkan spektakuler. Ini tidak lepas dari sifat pemerintahan waktu itu sangat represif.

Di perempatan Harmoni, depan Natour Travel Biro. Giliran kampanye PPP















Minggu, 25 April 1982 09.00.
Kenangan Minggu Berdarah di masa pemerintahan Presiden Haji Muhammad Suharto. Saya keluar dari rumah, di Cempaka Putih, membawa kamera Yashica SLR dengan lensa telezoom 75-300mm ,siap dengan film. Naik bemo ke Paseban, depan Universitas Indonesia di Salemba, saya jalan kaki menuju Pasar Senen. Hari ini adalah hari giliran Partai Golkar berkampanye. Di depan bioskop Grand, banyak orang berkelompok menunggu sesuatu di tepi jalan. Perasaan saya mengatakan, akan terjadi sesuatu disitu. Hal ini terlihat dari gelagat dan gerak orang-orang yang bergerombol disitu. Kemudian saya berpindah tempat ke jembatan penyeberangan di dekat bioskop GRAND. (sekarang sudah tak ada lagi bioskop itu, lihat gambar) Dari jembatang penyeberangan ini saya ambil gambar pertama. Dia atas truk itu adalah masa pendukung Golkar, sedang yang menonton di tepi jalan adalah masa dari PDI dan PPP. Mereka saling ejek mengejek. Disitu juga sudah bersiaga tentara dan polisi. Truk yang pertama lewat, kemudian disusul truk berikutnya. Masa PDI dan PPP dengan yang di truk saling mengejek. Sopir truk berikutnya ini terpancing emosi dan menghentikan kendaraannya yang penuh dengan masa pendukung Golkar.
 [ Ijin penggunaan semua foto :A.Haryandoko, e-mail : jayusharyandoko@yahoo.com . Hak Cipta dilindungi Undang_undang ]















Lihat foto diatas ini, karena merasa bersama dengan masa pendukung yang cukup banyak maka sopir truk yang terdepan berhenti ketika diejek olah masa yang menonoton di tepi jalan (PDI dan PPP). Masa yang didepan bioskop ini semakin mengejek masa yang di truk( dengan bendera Merah Putih), bahkan mulai ada yang melemparkan batu ke arah masa yang berada di atas truk.
Tentara dan polisi mulai bertindak, karena lempar melempar bertambah seru. Polisi menyuruh truk untuk berjalan terus. Lemparan-lemparan batu masih terus berlangsung. Kebetulan disebelah bioskop Grand, ada pembangunan ruko, jadi cukup tersedia banyak batu-batu untuk dilemparkan. Kerusuhan mulai terjadi ditengah masa yang saling melempar batu. Kemudian terdengar bunyi letusan-letusan senapan!














Saya terus mengambil foto, sambil bertiarap diatas jembatan penyeberang, beluru banyak berdesingan ke jembatan seberang, dan terdengar juga peluru mengenai besi-besi jembatan penyeberang. Foto ketiga memperlihatkan masa yang sudah berlari-lari kocar kacir menjauh menyelamatkan diri 3.
Namun.....



Setelah bunyi rentetan senjata sudah tak terdengar, pelahan saya bangkit dan turun dari jembatan penyeberangan. Di dekat ujung jembatan penyeberangan, sebelah bioskop Grand, depan gedung yang baru dibangun, bergelimpangan korban peluru tajam dari aparat bersenjata. Saya ambil foto secara cepat, beberapa kali. Pada foto yang lain pria yang berbaju putih masih tampak berubah posisi, bergerak. Juga Pemuda yang berkaos garis-garis, kepalanya berdarah dan masih bergerak. (Lihat pada gambar tangan, menunjukkan masih hidup).

























Foto berikut saya ambil dari atas jembatan penyeberangan sebelum turun. Seorang pemuda terkapar di sebelah dalam pagar bangunan. Punggungnya tertembus peluru, jelas bukan peluru karet.



















Polisi melarang saya mengambil foto-foto. (mengapa?). Mungkin mau menutupi kekerasan yang merenggut jiwa ini? Saya tetap terus mengambil foto-foto, bahkan foto polisi yang melarang saya memotret. Saya dikejarnya, tentu saja saya tak mau diam, lari sambil jepretkan kamera sana-sini.















Ketika saya berlalri turun dari jembatan penyeberangan. Seseorang berambut gondrong dengan pakaian safari biru, memegang lengan saya dari belakang sambil bertanya apakah saya mengetahui kejadian awalnya. Saya mencium gelagat tidak baik, langsung saya jawab saya tidak tahu sambil menepis tangan orang itu dan berlari meninggalkan tempat itu.
Sambil berjalan cepat saya masih sempatkan mengambil foto-foto insiden sekitar Salemba dan Kramat. Terus saya ke monas dan ke harmoni (Naik turun bis, sambil melihat ada tidak yang mengikuti saya! )


HARI-HARI PENUH KEKHAWATIRAN
Hari berikutnya saya cetak foto-foto di Jakarta foto. teman-teman di kantor sangat surprise atas hasil pemotretan saya. Mereka sekaligus mengingatkan saya hendaknya hati-hati dengan foto-foto yang sangat sensitif itu.
Melalui atasan saya yang punya hubungan dekat dengan perusahaan yang bergerak dibidang industri peternakan unggas milik PROBOSUTEDJO, (saudara tiri H.M. Suharto) pt Mercu Buana, akhirnya datang 4 orang yang mengaku kurir dari Bapak HM Suharto. Mereka mengatakan: Bapak (Presiden) hanya mau melihat foto-foto yang saya ambil........

Mereka meminta untuk mencetak dengan ukuran 10R foto2 yang mereka pilih, yang saya tampilkan dalam blog ini. Mereka juga meminta film negatif dari foto2 saya ini. Waktu itu masih belu ada kamera digital seperti sekarang ini. Saya mengatakan jika menghendaki negatifnya semua saya meminta imbalan 1 juta (1 US$=Rp 2000, kalau saya tak keliru). Mereka mengatakan tak membawa duit sebanyak itu, akhirnya 5 foto yang saya cetak mereka hargai Rp50.000 per lembar jadi total Rp 250.000,- tanpa disertai film negatifnya. Namun demikian mereka memberi "catatan" kepada saya untuk TIDAK MENGIRIMKAN  FOTO2 ITU KE MEDIA/PERS ! Entah bagaimana jalurnya ada satu atau dua teman orang wartawan  yang mengetahui saya punya foto itu (saya sudah lupa.....) mengatakan supaya hati2 dengan tawaran wartawan asing,  mereka mau memberi tawaran tinggi untuk foto2 seperti itu ( $2000 {Rp 4 juta } )  dikatakannya juga bahwa saya tidak akan bisa menikmati uang itu karena keburu di"ciduk"............. foto2 sensitif tetap tersimpan dalam album sampai tahun 1986, saya pindah profesi jadi guru di Jambi saya tunjukkan kepada murid2 saya SMA swasta di Jambi pada pelajaran ketrampilan fotografi......... dan kemudian pada tahun 2008 baru berani saya publikasikan ketika Suharto telah dimakamkan di Imogiri.  














25 komentar:

Anonim mengatakan...

Wah, berani benar, pak, di tengah letusan senjata begitu tetap mengambil foto. Untung saja nggak jadi sasaran para aparat saat itu..

silvanarw mengatakan...

sampe speechless :) kerenn!!

B-a-r-r-y mengatakan...

Terima kasih atas liputannya...

Irene Salomo mengatakan...

wah pengalaman yang sangat berkesan sekali ya Pak. boleh sering2 nulis lagi nih Pak spy bisa terus dishare :)

logos mengatakan...

pasti waswas banget waktu itu pak.

Anonim mengatakan...

Baru ketemu artikelnya, Masya Allah.. nyawa seperti tidak ada harganya. #Memgenaskan :(

Dimasaurs mengatakan...

Akhirnya saya menemukan artikel yang membenarkan cerita yang ibu saya ceritakan kepada saya.

Saat itu umur saya belum genap satu tahun, saya dalam gendongan ibu saya yang sedang berbelanja saat sekelompok orang berpakaian sipil tiba2 datang mengejar2 ibu saya & menanyakan partai apa yang ibu saya pilih.

Alhamdulillah Ibu saya lolos dari kejaran mereka & selamat.

Unknown mengatakan...

Ijin share yah..saya termasuk mahasiswa tahun 90 an ...

Anonim mengatakan...

Salut sangat salut. Anda sangat berani mengambil foto pada saat kerusuhan terjadi

Pasang Iklan

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

postingannya kereeeeeenn pak ee,
d tunggu yang selanjutnya yacchh, , :)
hhmmm, , ,
gag kebayang kaloo dulu nyawa seakan tak berharga di tangan bangsa sendirii, ,

Unknown mengatakan...

1982 Saya belum lahir, sungguh sangat miris, Orba yg katanya "piye penak jamanku tho" ternyata Jaman yg banyak kebusukan,tdk menghargai HAM

Erik-Watulintang Media mengatakan...

POstingan yang wangun..sip

Radian mengatakan...

Maaf Pak, perasaan simbah Harto itu di Astana Giri Bangun... Bukan Imogiri.. Hehehe,
Btw, fotonya keren2..

globepin.blogspot mengatakan...

syukurlah saya masih sempat membaca postingan sejarah yang berharga seperti ini

bisa kunjungi travelblog saya di www.globepin.blogspot.com

tri wahyu apriyanto mengatakan...

Bapak telah menampilkan sejarah bangsa kita yang sebenarnya. saya sangat mengapresiasi karya bapak. LUAR BIASA!!!

____________________________

Buat yang hobi menembak sebaiknya bisa kunjungi www.BeliSenapanAngin.com

putrakurniadi mengatakan...

kaskus brings me here

Unknown mengatakan...

Saksi sejarah, serta keberanian mengabadikannya.

Anonim mengatakan...

Abis baca tulisan ini, saya merinding betapa kejinya zaman orde baru. Terimakasih pak atas tulisannya. indocropcircles.wordpress.com yang telah membawa saya kesini. Sekarang masih aktif jadi wartawan pak??

A. Haryandoko D. mengatakan...

TERIMAKASIH UNTUK KOMENTAR DAN KUNJUNGANNYA KE BLOG SAYA INI. Terimakasih koreksinya SUHARTO bukan dimakamkan di Immogiri tapi di ASATANA GIRI....

SAAT SEKARANG saya masih dikarunia kesehatan dan rejeki yang cukup dari TUHAN ALLAH YANG MAHA PENGASIH. Tapi sudah tidak jadi wartawan lagi sejak 1983 ( saya dituduh membocorkan rahasia negara (?) Saya mundur dari jurnalis karena banyak masalah politik yang harus saya hadapi dan membuat tidak tenang. sejak 1984 saya menjadi guru Komputer di SMA Swasta di JAMBI sampai 2013, saya sudah pensiun tapi sampai sekarang masih diminta MENGAJAR

Saya aktif di Facebook dengan nama SIUS HARYANDOKO DIBYOPRANOTO. dan masih tetap MENGGEMGAM KAMERA DSLR NIKON 5200 ! SALAM UNTUK SEMUANYA !



Unknown mengatakan...

Saya teringat ketika pelajaràn fotografi kelas 1 sma xaverius jambi (1986) dikasih lihat sedikit oleh pak harry, bahaya nanti ditangkap...

Anonim mengatakan...

kereen

Unknown mengatakan...

Antara percaya dan tidak terhadap artikel yg bpk tulis ini. Tp disisi lain tukisan bpk membuka ckrawala sy mengenai sejarah kelam indonesia di tahun 1982 itu. Munculah dipikiran sy seberani itu kah bpk mendokumentasikan kejadian massa itu yg mempertaruhkan hidup bpk. Sy bangga dan terharu membaca tulisan bpk. Semoga bpk selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin
Salam Hormat dari Sy di Buton Provinsi Sulawesi Tenggara

Unknown mengatakan...

Terimakasih atas keberanian bapak mengungkapkan ini semua tentu tidak mudah, pastinya ini menjadi pelajaran bagi seluruh masyarakat Indonesia agar hal ini tidak pernah terulang lagi. #menolaklupa

Unknown mengatakan...

Untungnya bapak tidak di culik