Pengunjung

Selasa, 01 April 2008

SEMINARI GARUM BLITAR 1965-1972

  • MASUK TERLAMBAT
    Waktu itu ada pameran panggilan di SMP St Yosep Wonokromo Surabaya tempat saya sekolah (1965). Bruder Mikael, salah satu guru saya bertanya: "Kamu tertarik untuk masuk ke Seminari?", saya jawab "Mungkin, bruder". Saya tak ingat lagi proses yang terjadi waktu itu, yang saya ingat saya sudah naik kereta api, ke Blitar di antar kakak saya. Kemudian naik bis ke Seminari Garum. Sampai di dalam asrama ada seorang anak yang menyalami saya dan ternyata teman sekelas saya sejak SD kelas 1 di SD jl. Majapahit Surabaya, Hardi Aswinarno.


    BELAJAR BAHASA LATIN TERPISAH
    Karena saya tidak masuk diawal tahun ajaran maka untuk beberapa mata pelajaran khusus seminari garum saya dipisahkan. Bahasa Latin saya dikursus sendiri dengan senior saja, kalau tidak salah Djarot namanya. Romo K.Prent (guru bahasa Latin) juga sering mengkursus saya.
    Seminari Menengah Garum sulit terlupakan dari benak saya karena ditempat inilah kepribadian saya secara utuh terbentuk. Dari mulai saya masih berumur 13 tahun sampai 20 tahun. Karena kondisi keluarga saya maka ketika liburan semua teman-teman pulang ke kampung halamannya saya sendiri sering tidak pulang ke Surabaya tetapi tetap tinggal di asrama.

    Teman-teman seangkatan saya : Hardi Aswinarno (Pastor), Yudianto, Harry Christianto, Karsi (Romo), Go Sing Poen (Poerwatmojo), Clemens Kwee Ik Han, Haryono Martosudarmo, Amir Marwoto, Iskandar (siapa lagi yo? waduh ingatan saya sudah mulai dimakan usia). Guru guru yang tak pernah saya lupakan adalah : Suster Ignatia, mengajar ilmu Hayat, Bapak2: Purbo (Kimia), Sutoto (MTK, Geometri), Saptoro (EkonomiTatabuku), Sarwoto (Sejarah), Suwignyo(Bahasa Indonesia). SMP/SMA Seminari GArum waktu itu masih belum diakui keberadaannya oleh pemerintah maka ketika ujian SMP (1968) saya ujian di SMP Negeri 3 BLITAR.

    GUNUNG KELUD MELETUS
    Tahun 1965, Gunung Kelud meletus, menjelang pemberontakan PKI.
    Waktu itu, saya sudah lupa tanggalnya, kami sembahyang malam jam 21.00 di kapel. Langit agak mendung. Ketika tengah sembahyang kami mendengar bunyi berisik di talang air hujan seperti bunyi air hujan yang tercurah, ternyata kerikil kecil-kecil yang dimuntahkan gunung Kelud. Malam itu menjadi malam yang mencekam. Hujan lebat air bercampur lumpur, guruh bersaut-sautan dengan petir yang menggelegar berkali-kali. Saya tak bisa tidur, malam itu. Disebelah tepat tidur saya, teman menangis memanggil-manggil mamanya. Saya tak ingat lagi siapa teman itu. Cuaca semakin mengkhawatirkan. Kami semua diajak berkumpul di aula seminari. Komunikasi telepon terputus sama sekali. Sampai subuh kami masih mendengar dentuman, dan gemuruh yang dikeluarkanoleh Gunung Kelud. Maklum asrama tempat kami berjarak sekitar 25 km dari kawah.
    Pagi hari kami keluar dari kamar.....semua putih.. pohon-pohon, lapangan badminton, genting, tanaman pagar, semuanya putih menyilaukan mata tertimpa sinar matahari. Penghuni asrama seminari semuanya selamat. Aliran lava gunung Kelud mengalir berjarak 3 km dari asrama (desa Talun). Bukit Gedang melindungi kami dari aliran lava gunung Kelud.
    Seminggu kemudian, bapak dan kakak perempuan saya mengunjungi saya. Senang bukan main. Mereka bersama orang tua siswa-siswa lain yang berasla dari kota Surabaya.

    PEMBERONTAKAN PKI
    Kejadian-kejadian disekitar seminari yang membekas di pikiran saya ketika masa pemberontakan PKI. Saya yang masih kecil melihat bagaimana kepala manusia yang sudah terlepas dari badannya diletakkan begitu saja di tembok jembatan sungai. Saya melihat sendiri ada anjing2 yang berlari-lari saling berebut makanan, dan ternyata itu jari manusia! Ingatan itu meninggalkan trauma dipikiran saya.
    Ada banyak orang membuat lubang2 basar disebelah asrama, saya tidak tahu untuk apa lubang2 galian itu. Belakangan saya mendengar lubang itu disiapkan untuk tempat mengubur anak seminari kalau nanti PKI menang!
    Suatu masacre besar-besaran dilakukan atas dasar Penghancuran Ateis Komunis. Orang-orang tak bersalah itu menjadi korban. Ketika liburan Desember saya pulang ke Surabaya naik bis. Tidak bisa melalui kota Malang, karena meliwati daerah aliran lava gunung Kelud. Beberapa jembatan putus diterjang lava. Bis memutar melalui Kertosono menuju Mojokerto. Di Kertosono disebuah jembatan panjang saya melihat kepala manusia diletakkan diatas tembok dikiri kanan memasuki jembatan. Kepala laki-laki di tembok kiri dan perempuan ditembok panjang. Ketika bis memasuki jembatan kepala itu terlihat jelas persis di jendela bis tempat saya duduk. Suatu pemandangan yang mengerikan, apapun alasannya sulit dipercaya itu dilakukan oleh manusia yang beradab apalagi ber-Tuhan! Kabupaten Blitar, asrama kami termasuk di kabupaten ini, merupakan salah satu basis sarang pelarian orang-orang komunis. Kosa kata yang tak terlupakan berkaitan dengan perisitiwa-peristiwa itu adalah: ruba-ruba, kelewang, pembantaian, surat jalan, surat bebas G30S-PKI, penggerebegan, operasi Trisula, Babinsa, BTI,Gerwani, Pemuda Rakyat.

    UJIAN NASIONAL
    Setelah tiga tahun belajar di SMP Seminari Menengah (belum diakui Pemerintah) saya harus menempuh ujian negara di SMP Negeri 3 Blitar. Kepala sekolahnya Pak Haryono, orang tua dari Harry Chrystianto, Isharyanto (musisi beken di Jakarta). Hasil ujian saya cukup memuaskan. Hanya ada nilai 6 pada mata pelajaran Olahraga.

    Waktu kelas 3 SMA saya dan teman-teman harus bergabung ke SMA Katolik Diponegoro setiap pagi berangkat ke Blitar (8km) naik bis HANSA. Beberapa nama teman di SMA Diponegoro masih ada dingatan saya Yatim, Endang, Atik,
    Hasil ujian tak menggembirakan meskipun tidak buruk. Setelah lulus saya naik ke kelas persiapan untuk keseminari tinggi. Di kelas ini saya mempunyai tugas mengajar anak2 SD, ada yang mengajar di SD Santa MAria di Blitar, ada yang ke SD Katolik di Desa Slorok. Saya mendapat bagian ke SD di desa Slorok.

    Sekolah SD di desa Slorok tempat mengajar agama Katolik pertama kali. Dari asrama sampai ke desa ini jaraknya... (sudah lupa), pakai sepeda kesana, kadang saya naik kuda milik pak Saptoro (guru ekonomi, tatabuku). Kalau hari minggu sore saya mengajar agama anak-anak Katolik disekitar asrama, juga katekumen dewasa yang juga ikut nimbrung ketika saya mengajar anak2 kecil (sekarang disebut sekolah Minggu)

    MASA PERENUNGAN TERASA PANJANG
    Masuk seminari menengah bagi saya bukanlah untuk menjadi pastor. Mungkin saya dianggap tidak benar, namun saya meyakini itu dan saya harap banyak umat katolik bisa menerima pendapat ini. Masuk seminari menengah adalah masuk dalam suatu lingkungan pendidikan dimana kita bisa meneliti diri kita sendiri apakah yang menjadi panggilan hidup kita, mau hidup celibat atau tidak, mau jadi biarawan atau tidak. Suatu perenungan yang panjang dan tidak mudah untuk menentukan panggilan hidup kita. Karena itu jika ada seseorang yang meninggalkan seminari menengah sebelum melanjutkan ke jenjang seminari berikutnya, tidak tepat bila dikatakan ia gagal jadi pastor. Bukan gagal, tetapi berhasil menemukan panggilan hidupnya.
    Saya meninggalkan seminari Garum tahun 1972, beberapa bulan sebelum colloquium doctum, dengan catatan saya masih bisa masuk kembali jika saya mengubah keputusan yang sudah saya ambil bahwa saya mau hidup sebagai awam. Tahun 1994 saya retret di Biara Trapis Rawaseneng, Temanggung selama 10 hari, yang akhirnya saya memutuskan secara definitip saya tetap menjadi awam. Suatu perjalanan perenungan hidup yang panjang berliku dan berbelit-belit. Tanggal 16 Juli 1994 saya menerima sakramen perkawinan di Gereja Fransiskus Asisi Tebet Jakarta, bersama istri saya. Pastor Herbert Henslok SCY. yang memberikan sakramen perkawinan itu.